FRONT BIRO INVESTIGASI

Pengangkatan Pj. Kepala Desa Tanpa Keterlibatan BPD Ditinjau dari Persepektif Hukum Dan Kajian Filosofis!


Oleh : Fauzan Hakim, S.Ag

Musi Rawas-Polemik pengangkatan Pj. Kepala Desa tanpa melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memang sering terjadi disejumlah daerah. Kebijakan ini memicu protes warga atau bahkan dari BPD itu sendiri. Terbaru, soal pengangkatan PJ. Desa Suka Merindu Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu (STL. Ulu) Kabupaten Musi Rawas, tanggal 25 April 2025 yang proses pengusulannya tidak melibatkan BPD. Ketua BPD Desa Suka Merindu dalam hal ini beranggapan bahwa pihak kecamatan telah melakukan tindakan sepihak dan telah mengenyampingkan fungsi dan tugas BPD 

Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan, dan menjawab permasalahn ini, dengan harapan dapat memberikan pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat khususnya BPD Desa Suka Merindu agar tidak menimbulkan polemik atau kesan negatif terhadap Pemerintahan Kabupaten Musirawas khususnya Pemerintah Kecamatan STL. Ulu yang memang beberapa hari ini sedikit berang dan tergganggu atas protes BPD hingga muncul pemberitaan di sebuah media online beberapa hari lalu.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah pengangkatan atau penunjukan PJ. Kades Suka Merindu tanpa keterlibatan BPD itu sah secara hukum?Lalu, Bagaimana fungsi Camat dalam proses pengangkatan PJ. Kepala Desa dan sejauh mana keterlibatan BPD dalam perkara ini.

Untuk menjawab itu, penulis mencoba menjelaskan menurut Persepektif hukum (Yuridis) dan pandangan filosofis dan tentunya melalui analisis kualitatif yakni dengan data, teks, narasi, pengamatan fenomena sosial, dan literatur.

Pertama, Pandangan Yuridis.

Secara hukum, Regulasi nasional (UU Desa dan Permendagri 82/2015 jo. Permendagri 66/2017) tidak mengatur bahwa BPD harus mengusulkan atau harus dilibatkan dalam proses rekomendasi calon Pj Kepala Desa. Disana hanya disebutkan bahwa ketika terjadi kekosongan jabatan kepala desa, maka bupati memilki kewenangan melakukan penunjukan PJ. Kades dari kalangan PNS.

Terkait Fungsi Camat, PP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan menyebut Camat bertugas melaksanakan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, maka 
Camat berfungsi sebagai perpanjangan tangan Bupati untuk mengkoordinasikan dan membina desa.

Artinya, Camat memang berwenang memberikan rekomendasi teknis administratif terkait Pj. Kepala Desa. Rekomendasi ini berfungsi sebagai alat bantu administratif untuk mempermudah Bupati mengambil keputusan. Artinya Tanpa keterlibatan BPD pun proses hukum pengangkatan Pj tetap sah dan tidak cacat prosedur.

Bukan hanya itu, regulasi tentang penunjukan atau pengangkatan PJ kades, juga telah diatur didalam Peraturan Daerah (Perda ) nomor 16 tahun 2008. Tertuang pada Bab II pasal 1, 2, 3 dan 4. Peraturan ini merupakan turunan dari UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa, yang memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengatur mekanisme pengangkatan PJ. Kepala desa.

Dari sekian pasal, ayat pada perda tersebut menegaskan bahwa,
pengusulan calon penjabat Kepala Desa adalah wewenang camat dengan pertimbangan atau usul BPD (Pasal 2 ayat 3 ), lalu kemudian mengusulkan ke Bupati, (pasal 3 ayat 3) atas pertimbangan atau usul BPD (pasal 2 ayat (3) yang tentunya berdasarkan hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa (BPD ) lalu dituangkan dalam berita acara (Pasal 3 ayat 1) dengan syarat 2/3 Anggota BPD harus hadir.

Poin penting dari pasal Perda Musi Rawas Nomor 16 tahun 2008 tersebut adalah menyebutkan bahwa pengusulan calon penjabat Kepala Desa adalah wewenang camat dengan pertimbangan atau usul BPD sebagaimana maksud bunyi (Pasal 2 ayat (3 ). Pasal ini menurut hemat penulis, bahwa Camat dalam perkara ini memiliki kewenangan terkait pengusulan calon PJ. kades tanpa harus melibatkan BPD.

Kemudian, atas usulan Camat, Bupati memiliki kewenangan untuk mengangkat PJ. Kepala desa dan tidak ada larangan dalam hal ini, bahkan didalam ketentuan UU tentang Desa Nomor 6 tahun 2014 tersebut menyimpulkan mekanisme pengangkatan PJ. Kades diserahkan kepada Kepala daerah. Dan tidak ada pula ketentuan menegaskan keterlibatan BPD terkait soal pengangkatan PJ. kades didalam Undang-undang tersebut. Artinya, bahwa tidak ada larangan hukum bagi Bupati mengangkat PJ. Kades meskipun tanpa melibatkan BPD, Hal ini sejalan maksud (pasal 2 ayat (1 ) dan ( 2).

Kedua, didalam Perda 16 tahun 2008 tersebut juga tidak mengatur secara jelas tentang mekanisme keterlibatan BPD terkait pengangkatan PJ. kades, meskipun proses pengambilan keputusannya harus dilibatkan. Disinilah pokok persoalannya, sehingga ada cela hukum yang dapat dijadikan alasan yuridis bagi Pemerintah untuk melakukan tindakan yang kelihatannya sepihak tetapi tidak dapat dikatakan sebuah pelanggaran hukum.

Selain itu, Pj Kades juga dapat diangkat dalam beberapa kondisi khusus, seperti pemberhentian sementara kepala desa karena tindak pidana, atau kekosongan jabatan kepala desa karena meninggal dunia atau mengundurkan diri. 

Dalam kasus yang terjadi di Desa Suka Merindu, memang terjadi permasalahan karena masa jabatan PJ yang lama, sdr. Kowi, berakhir pada April 2025. Sementara jauh sebelumnya Beliau sudah tidak dapat memaksimalkan perannya dalam menjalankan tugas karena harus menjalani perawatan,
bahkan sempat dilakukan operasi atas penyakit yang dideritanya. Dengan pertimbangan kondisi kesehatan yang kurang baik itulah, lalu kemudian pada tanggal 24 Maret 2025 mengajukan surat pengunduran diri karena kondisi sakit. 

Nah, dalam kasus seperti ini, hemat penulis, Bupati dapat mengangkat Pj Kades tanpa menunggu usulan BPD, tetapi dengan tetap mengikuti prosedur yang berlaku, bisa berarti tetap pengusulan tersebut masih dalam kaidah atau norma hukum tanpa perlu pertimbangan dari pihak manapun termasuk BPD, penulis menyebutnya situasi yang kurang normal atau darurat, an sich.

Lalu, Bagaimana keterlibatan BPD?

Secara hukum, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) tidak wajib dilibatkan dalam pemberian rekomendasi Pj. Kepala Desa. BPD baru berperan aktif kalau dalam konteks pemilihan Kepala Desa antar waktu atau (PAW) atau ketika terjadi kekosongan jabatan. Untuk Pj, karena sifatnya penunjukan administratif, cukup rekomendasi dari Camat ke Bupati tanpa wajib konsultasi ke BPD. Intinya Camat bisa memberikan rekomendasi calon Pj. Kepala Desa langsung ke Bupati tanpa keharusan melalui BPD. Akan tetapi, dalam hal ini Bupati-lah yang harus membuat keputusan resmi.

Kedua, Pandangan filosofis.

Situasi darurat dalam perspektif hukum tata negara merujuk pada penerapan aturan dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa untuk mengatasi kondisi darurat yang mengancam kehidupan normal masyarakat."Bahkan negara dapat bertindak dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan konstitusi, namun tetap harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia,"(Hans Kelsen).

Dalam bukunya"Ilmu Hukum dan Keadilan", Mr. Iwa Kusuma Sumantri mendefenisikan hukum darurat sebagai hukum yang sengaja dibuat untuk mengatasi keadaan darurat yang genting dan tidak untuk jangka panjang, atau yang bersifat sementara. 

Lalu muncul pertanyaan, apakah proses menunjukkan PJ. Desa tersebut termasuk kedalam kondisi atau situasi darurat atau bukan?Jika penunjukan Pj. kades itu perkara yang mendesak atau darurat. Atau, sekalipun bukan dalam kondisi darurat, penulis tetap berpendapat, bahwa tindakan Pemerintah Kecamatan STL.Ulu mengusulkan PJ. Kades menjabat Kepala Desa Suka Merindu tanpa melibatkan BPD sudah tepat dan bukan merupakan pelanggaran hukum meskipun melalui proses yang tidak normal, terlebih dalam situasi normal.

Artinya, dalam keadaan tidak normal, pengambilan tindakan bisa menjadi suatu keharusan, tergantung pada konteks dan prinsip yang digunakan. Secara pragmatisme, filosofi ini menekankan pada efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan, mungkin mendukung tindakan tersebut jika tujuan yang dicapai lebih penting daripada menjaga "normalitas". Misalnya, dalam situasi darurat, melanggar aturan lalu lintas mungkin dianggap sebagai tindakan tidak normal, tetapi jika tindakan tersebut menyelamatkan nyawa, maka tindakan tersebut dapat dianggap sah dari sudut pandang pragmatisme.

Secara moralitas. Filosofi ini menekankan, dalam keadaan tidak normal, mengambil tindakan tidak normal mungkin tidak selalu sah dari perspektif moral, bahkan jika tujuan yang dicapai adalah baik. Misalnya, membunuh seseorang untuk menyelamatkan nyawa orang lain mungkin dianggap sebagai tindakan yang tidak normal dan tidak bermoral, namun harus dilakukan, Sebab tujuan yang dicapai adalah menyelamatkan nyawa.

Demikian halnya menurut pandangan konsekuensialisme. Filosofi ini 
menekankan pada konsekuensi dari tindakan. Dalam keadaan tidak normal, mengambil tindakan tidak normal mungkin bisa dibenarkan jika konsekuensi positif dari tindakan tersebut lebih besar daripada konsekuensi negatifnya.

Intinya, apakah mengambil tindakan tidak normal dalam keadaan tidak normal bisa dibenarkan atau tidak, tergantung pada kerangka filosofis yang digunakan. Tidak ada jawaban tunggal (Absolutisme) yang berlaku untuk semua situasi. Hal ini juga tergantung pada konteks spesifik dan tujuan yang ingin dicapai. 

Akhirnya penulis menyimpulkan, bahwa penunjukan atau pengangkatan Penjabat  Kepala Desa Suka Merindu sdri. Eka Diana, S.IP., oleh Camat STL. Ulu Muahammad Pahip, M.Pdi., pada hari Jumat tanggal 25 April 2025, adalah sah secara hukum dan logis. Bahkan merupakan suatu tindakan yang cepat dan cerdas. Artinya tindakan atau keputusan ini sudah tepat waktu yang dibuat berdasarkan pemikiran strategis, analisis situasi, dan pertimbangan yang matang. (*)

Penulis adalah lulusan 1999, Fakultas  Ushuluddin UIN Raden Fatah Palembang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama